Review Film Anak: Cipung Abubu
Sejak lahirnya Sora, aku jadi tahu lebih banyak tontonan anak-anak. Aku usahakan Sora minim screen time dan belum mau ku kenalkan YouTube di umurnya yang sekarang, jadi sesekali saja hanya boleh nonton TV. Saat ini saluran TV anak kecil yang menarik menurutku adalah antara MNC TV dengan adanya Upin dan Ipin, atau Mentari TV yang menyajikan Pororo, Tayo, dan Titipo. Lalu sesekali kami lihat jadwal Mentari TV ada film buatan Indonesia, salah satunya Cipung Abubu. Awalnya saya sangat penasaran dengan filmnya karena mungkin ini bisa jadi alternatif tontonan anak yang ber-citarasa lokal dan mendidik. Sayangnya setelah menonton beberapa episodenya, saya berubah pikiran.
Sebelum melanjutkan reviewnya, mungkin ada baiknya saya memberikan disclaimer. Pertama, niat saya murni hanya curahan hati orang tua saja, bukan untuk mencederai hati siapapun, atau menjatuhkan karya anak bangsa. Kedua, saya hanya fokus pada faktanya saja, meskipun banyak detail-detail interpretasi subjektif pribadi saya yang ingin saya sampaikan, tapi saya putuskan untuk tidak dipublikasikan demi menghindari terpicunya Twitwor yang tidak berfaedah.
Product Placement dan Hard Selling
Sesuai janji saya di atas, saya mulai dan akhiri dengan fakta. Satu fakta yang selalu ada setiap kali saya menonton film ini adalah adanya product placement dari cemilan instan. Seperti contoh di bawah, karakter Aa Raffi sedang menunjukkan produk cemilan anak, yang nantinya dibagikan ke Rafathar, Cipung, dan teman-temannya. Lalu mereka menunjukkan kenikmatannya makan biskuit seperti tidur di atas awan.
Saya bukan ahli marketing atau hukum, saya tidak tahu apakah strategi ini etis atau tidak. Saya hanya menyampaikan keluhan sebagai Ayah. Saya sangat menyayangkan film lokal yang punya banyak audiens justru diselipkan iklan di dalam ceritanya. Iklan di luar cerita pun sudah begitu banyak, lalu anak saya terpaksa harus mengkonsumsi iklan lagi di dalam cerita, kan sedih ya.
Selain kesedihan adanya iklan di dalam cerita, saya juga cukup sedih dengan konten yang diiklankan. Sebagai negara yang sedang berjuang melawan stunting, rasanya kurang sreg kalo film anak-anak diselipkan cemilan manis rendah gizi, yang bikin anak-anak malas makan kalau sudah memakan produk tersebut. Lebih sedih lagi, mungkin Cipung di kenyataan tidak akan atau sangat jarang diberikan produk semacam itu oleh Mamanya. Saya justru lebih setuju kalau misal yang diiklankan adalah ikan shisamo yang sering dimakan Cipung untuk meningkatkan gizinya.
Syukurlah tren stunting di Indonesia mulai menurun, namun angkanya masih cukup besar. Kurang lebih 1 dari 5 anak Indonesia masih mengalami stunting. Mengingat TV adalah salah satu moda hiburan paling mudah dijangkau masyarakat, sangat disayangkan kalau konten di TV tidak sejalan dengan visi kesehatan masyarakat kita. Padahal TV bisa jadi alat yang sangat kuat untuk membagikan pesan baik kepada mayoritas masyarakat Indonesia.
Saya tidak berharap tulisan ini digubris oleh Mentari TV atau produsernya Cipung Abubu. Saya hanya berharap tontonan anak karya anak bangsa bisa meningkat kualitas, baik dari segi teknis, cerita, dan etika penyiaran.